Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Sepercik Samudra Berkah Ramadhan (1)

Sepercik Samudra Berkah Ramadhan (1)
Handphone Rahimahullah

Sepercik Samudra Berkah Ramadhan (1)

Cerita:

Pada dini hari, saya tidak bisa tidur sampai menjelang sahur. Karena gabut, saya mengisi kegabutan dengan menulis. Terinspirasi dari quotes instagram, dan beginilah jadinya:

Fenomena melonjaknya pedagang pada saat Ramadhan tidak lagi menjadi tren asing di lingkungan kita. Jalanan yang sepi menjadi seakan pasar; berjajar gerobak-gerobak dan lincak-lincak yang dipenuhi makanan untuk buka puasa.

Segala golongan saling berjajar dan sejajar dalam satu misi: dagang dan visi: mendapatkan uang. Senang melihat mereka saling guyub dan rukun. Kalau toh ada perseteruan dari seseorang, pasti dilatarbelakangi kebencian dan kedengkian. Ya, itu jelas. Pasti. Kan, namanya manusia.

Maraknya lapak jualan itu ternyata sangat berdampak pada ekonomi rakyat kecil. Banyak mereka berteduh dari sengatan sinar matahari siang hari ketika di sawah dan ladang kemudian berjualan saat sore hari. 

Juga, kadang pengemis pun melupakan bakat mimik wajah melasnya untuk menyuguhkan hidangan yang dijual untuk buka puasa. Namun, pemulung banyak yang tetap memulung. Mengapa? Sebab, sampah-sampah berharga datang dari segala arah. Di pinggir-pinggir jalan, tempat sampah-tempat sampah. Alhamdulillah.

Mereka itu, dari latar belakang yang rupa-rupa itu, saling mencari sepercik dari samudra berkah Ramadhan. Dan saya, sebagai seorang pengamat amatir dan abal-abal, ingin menceritakan sebuah analisis yang saya jabarkan dari salah satu quotes di instagram. Begini:

Sore sebelum berbuka, andai kamu dapati seorang ibu yang menatap nanar jalanan dan segala yang sedang hilir-mudik di depan jualannya, maka apakah kamu akan membeli atau membiarkan saja? Andai kamu mendapati seorang kakek memanggul sebuah karung biru besar berisi kerupuk di seberang jalan, dan kamu mengendarai sepeda, maka apakah kamu akan memberhentikan sepedamu dan membeli kerupuknya, atau membiarkan sepedamu melaju begitu saja meninggalkannya?

Andai yang Terjadi pada Ibu

Bila matahari sudah tak sampai sejengkal lagi dari ufuk barat dan pedagang-pedagang telah memberesi jualannya, sedang ibu itu belum sama sekali laku jualannya, maka ia menangis. Dengan wajah lesu dan pucat pasi ia membereskan dagangannya, dan kembali ke rumah tanpa perasaan bungah (bahagia). Suaminya terkulai di atas kasur. Anaknya, tak jauh dari situ, khusyuk melihat tayangan ngaji di televisi.

"Hari ini nggak laku, Mas."

Si Anak berlari ke arah ibu, menghamburkan tubuhnya di lutut ibunya. Tangan kanannya meraih dagangan ibunya dan melahapnya. Saking lahapnya sampai berbunyi.

Ibu menyisihkan dua bungkus nasi. Duduk dan menyuapkan pada suami. Setelahnya, ia cukup hanya makan satu bungkus. Bilang pada suaminya: "Nanti sahurnya pakai empat bungkus ini, Mas. Hari ini cuma dapat lima ribu."

Suaminya senyum.

Andai yang Terjadi Pada Kakek

Bila matahari sudah tak sampai sejengkal lagi dari ufuk barat dan Kakek telah sampai di depan rumahnya, maka ia menurunkan plastik biru besarnya itu di depannya dengan wajah lesu dan pucat. Ditentengnya kemudian plastik itu dan dibawa masuk ke dalam rumahnya.

Istrinya telah menunggunya. Ia berharap suaminya membawakan lauk untuk buka puasa. Kakek membuka plastiknya, mengeluarkan empat buah kerupuk putih.

"Hanya laku sepuluh ribu, Mbok. Buat beli beras untuk sahur nanti," ucapnya sambil menyodorkan empat buah kerupuk kepada istrinya. Lalu mereka berdua memakannya.

Pengamatan Seorang Pengamat Amatir

Kedua andaian saya itu mungkin terjadi dan mungkin tidak. Mm, tapi banyak potensi terjadi kali, ya?

Maka, andaikata kalian melihat ibu atau kakek, atau siapa pun, yang sepi dagangannya, apakah kamu membelinya atau membiarkan saja?

Barangkali yang kamu beli dari pedagang yang sepi di seberang jalan saat mencari buka puasa, labanya sangat dibutuhkan keluarga, dinantikan oleh istri dan anak-anaknya.

Barangkali, loh, ya. Dan yang pasti, saya adalah pengamat amatir. Maka jangan asal percaya. 

Walhasil, yang telah saya tulis di atas tadi cuma semacam catatan kecil yang saya tulis di sepanjang jalan mencari takjil. Ha ha. Sebab, saya pun, sebagai seorang bujang, masihlah merdeka dari hal yang demikian rumit. Dan yang harus digarisbawahi secara besar dan tebal adalah bahwa andaian di atas merupakan refleksi yang saya tulis ketika sahur. 

Post a Comment for "Sepercik Samudra Berkah Ramadhan (1)"